قِيَامُـهُ بِالنَفْسِ وَحْدَانِيَّـةْ³ مُنَـزَّهًا أَوْصَـافُهُ سَنِيَّـةْ
عَنْ ضِدٍّ أَوْشِبْهٍ شَرِيْكٍ مُطْلَقَا³ وَوَالِدُ كَذَا الْوَلَدُ
وَالْلأَصدقاء
"Allah berdiri sendiri dan esa, maha bersih
Allah daripada lawan, yang menyerupai, sekutu, yang melahirkan, anak dan
teman".
Dalam bait ini dijelaskan dua
macam sifat yang wajib bagi Allah, sebagai lanjutan dari bait-bait dibelakang
yaitu
1. Qiyamuhu bi nafsih (berdiri sendiri)
Makna Qiyamuhu bi nafsih
لايفتقر الى محل ولا الى مخصص
Tidak berhajad Ia kepada zat lain dan tidak berhajad juga kepada yang
menjadikannya[1]
Qiyamuhu bi nafsih suatu kata yang mengandung dua makna:
1)
Tidak
berhajad Ia kepada zat lain
2) Tidak berhajad juga kepada yang
menjadikannya
Dua makna ini kemudian digabungkan menjadi satu
lalu di istilahkan dengan kata qiyamuhu bi nafsih (berdiri denga sendirinya)
Allah sendiri adalah suatu zat (bukan sifat), maka
kalau Ia zat tentu saja tidak perlu kepada zat lain untuk berdirinya,
sebagaimana yang terjadi pada sifat, sifat tidak mungkin ia berdiri sendiri
bila tidak ada zat untuk berdirinya, putih tidak akan wujud bila tidak ada
benda seperti batu, kapur dan lain-lain. Tidak ditemukan putih yang berpisah
dari zat, melainkan putih itu terdapat pada zat sepeti kapur putih yang berarti
kapur tersebut berwarna putih ataupun warna putih berdiri pada kapur.
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa pendapat
orang-oarang Nasrani yang mengatakan Tuhan itu sifat yang bertempat pada tubuh
Nabi Isa adalah salah, sesat-menyesatkan karena Tuhan itu bukan sifat, tetapi
suatu zat yang berdiri sendirinya[2].
Dan lagi zat Allah tidak berhajat kepada tempat
lain sebagai tempat duduk, tempat tinggal dan sebagainya, dan Allah tidak di
atas, tidak dibawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di muka dan tidak di
belakang, karena kesemuanya itu merupakan ketenteuan dan keadaan pada yang
baharu. Sedangkan Allah tidak baharu. Jika umpamanya Allah demikian
gambarannya, sungguh Dia baharu dan bukan Tuhan yang disembah dengan
sebenarnya. Tetapi apabila tidak ada sifat-sifat baharu, maka itulah yang
dikatakan Tuhan yang benar. Umpamanya barang yang ganjil bukan genab, dan juga
sebaliknya, yakni yang genab bukan ganjil. Begitulah juga yang baharu bukan
Tuhan yang benar dan Tuhan yang benar bukan baharu[3].
Kalau pun ada orang yang mengatakan bahwa Tuhan
bertempat di Syurga ataupun di Arasy, Jawabannya mudah saja, Syurga dan Arasy,
Allah yang ciptakan, sebelum di ciptakan dimana Ia duduk, bingunglah orang itu
dan tidak bisa memberi jawaban yang tepat mengenai pertanyaan tersebut[4].
Aliran yang mengatakan Allah duduk bersela di atas
arsy dan bertempat di atas langit adalah kaum musyabihah (kaum yang
menyerupakan Tuhan denga makhluk), sebagamana yang telah diuraikan panjang
lebar oleh KH. Sirajuddi Abbas dalam bukunya Iktiqat Ahlussunnah Wal Jamaah,
halaman 256, berikut ini petikannya.
Dalil yang dikemukakannya
الرحمن على العرش استوى
Ar Rahman (Allah) duduk bersela di atas arsy (Thaha,
5)
Mereka mengartikan istawa dengan duduk
bersela serupa selanya manusia. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah mengartikan istawa
di sini dengan mengusai atau memerintah. Jadi arti ayat ini menurut
Ahlussunnah wal jamaah begini:
“Tuhan yang
rahman mengusai ‚arasy“
Kaum
tersebut mengatakan Tuhan di atas langit berdasar dua dalil yang dikemukakan
yaitu:
بل رفعه الله اليه
Tetapi Tuhan
mengangkat (Nabi Isa) kepadaNya, (An Nisa, 158)
Dalam ayat
ini menurut mereka, dinyatakan bahwa Nabi Isa diangkat oleh Tuhan kepadaNya,
yang berarti bahwa Tuhan itu di atas karena ada perkataan rafa’a yang
berarti mengangkat ke atas.
Dan lagi firmanNya
أأمنتم من فى السماء ان يخسف بكم
الارض فإذا هى تمور
Adakah Kmu
merasa aman dengan yang ada di langit, bahwa kamu akan ditenggelamkan ke dala
bumi ketika Ia bergoncang dengan kerasnya (Al Mulk, 16)
Dalam ayat
ini menurut kaum Musyabihin, dinyatakan bahwa Tuhan itu di langit, di atas
karena langit itu di atas.
Kaum
Ahlussunnah Wal Jamaah, mengartikan ayat ini dengan tempat yang mulia,
jadi Nabi Isa diangkat ketempat yang mulia dan ia berada di tempat yang mulia.
Pada ayat ini memang disebutkan di atas atau di langit, tetapi
yang dimaksudkan adalah tempat yang mulia karena perkataan di atas
atau di langit biasa juga dipakai oleh Arab pada arti tempat yang
mulia.
Dan Allah yang
suci itu maha bersih dari pada lawan, yang
menyerupai, sekutu, yang melahirkan, anak dan teman tidak melahirkan,
dan tidak berhajad kepada Tuhan lain yang menciptakannya karena Ia wajib Qidam, sudah ada dengan sendirinya yang
tidak diciptan oleh Tuhan lain. Dan inilah makna Qiyamuhu Bi Nafsih yang
disimpulkan dengan, Tuhan itu bukan
sifat tetapi zat dan tidak berhajat kepada pencipta. Dan Ia kaya dari itu
semua, sebenarnya inilah hakikat kaya yang disebut began kaya mutlak, tidak
sepeti kaya yang tedapat pada makhluk yang tidak terlepas dari campur tangan
sang maha pencipta, karena betapun kayanya makhluk tetap membutuhkan kepadanya.
Manusia mempunyanyia
rumah besar, mobil mewah dan lain sebagainya, itu semuanya pemberian Allah, kapan
saja bisa hilang dan lenyab bila Allah menghendakinya. Dan dari karena itu kita
tidak boleh sombong dan takabbur dengan sebab mempunyanyi harta yang titip
hanya buat sementara, kita harus menyadari bahwa apa saja yang ada bersama kita
semuanya milik Allah bukan milik kita dan kita selalu membutuhkannya (Allahush
shmad)
Imam Sanusi
membagikan keadaan apa saja yang wujud (majudat) kepada 4 (empat) macam:
1)
Tidak berhajat kepada tempat dan pencipta yaitu Allah
2)
Berhajat kepada tempat dan pencipta yaitu sifat yang
terdapat pada makhluk
3)
Berhajat kepada pencipta dan tidak berhajat kepada
tempat yaitu zat makhluk
4)
Berhajat kepada tempat dan tidak berhajat kepada
pencipta yaitu sifat-sifat qadimah yang terdapat pada zat Allah yang tinggi[5].