mubarak's

Thursday, August 14, 2014

Sifat Allah Ta'ala; Qiyamuhu bi nafsih

قِيَامُـهُ بِالنَفْسِ وَحْدَانِيَّـةْ³            مُنَـزَّهًا أَوْصَـافُهُ سَنِيَّـةْ
عَنْ ضِدٍّ أَوْشِبْهٍ شَرِيْكٍ مُطْلَقَا³      وَوَالِدُ كَذَا الْوَلَدُ وَالْلأَصدقاء
"Allah berdiri sendiri dan esa, maha bersih Allah daripada lawan, yang menyerupai, sekutu, yang melahirkan, anak dan teman".

Dalam bait ini dijelaskan dua macam sifat yang wajib bagi Allah, sebagai lanjutan dari bait-bait dibelakang yaitu

1.      Qiyamuhu bi nafsih (berdiri sendiri)
Makna Qiyamuhu bi nafsih
لايفتقر الى محل ولا الى مخصص
Tidak berhajad Ia kepada zat lain dan tidak berhajad juga kepada yang menjadikannya[1]

Qiyamuhu bi nafsih suatu kata yang mengandung dua makna:
1)      Tidak berhajad Ia kepada zat lain
2)      Tidak berhajad juga kepada yang menjadikannya
Dua makna ini kemudian digabungkan menjadi satu lalu di istilahkan dengan kata qiyamuhu bi nafsih (berdiri denga sendirinya)

Allah sendiri adalah suatu zat (bukan sifat), maka kalau Ia zat tentu saja tidak perlu kepada zat lain untuk berdirinya, sebagaimana yang terjadi pada sifat, sifat tidak mungkin ia berdiri sendiri bila tidak ada zat untuk berdirinya, putih tidak akan wujud bila tidak ada benda seperti batu, kapur dan lain-lain. Tidak ditemukan putih yang berpisah dari zat, melainkan putih itu terdapat pada zat sepeti kapur putih yang berarti kapur tersebut berwarna putih ataupun warna putih berdiri pada kapur.

Dari uraian ini dapat diketahui bahwa pendapat orang-oarang Nasrani yang mengatakan Tuhan itu sifat yang bertempat pada tubuh Nabi Isa adalah salah, sesat-menyesatkan karena Tuhan itu bukan sifat, tetapi suatu zat yang berdiri sendirinya[2]

Dan lagi zat Allah tidak berhajat kepada tempat lain sebagai tempat duduk, tempat tinggal dan sebagainya, dan Allah tidak di atas, tidak dibawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di muka dan tidak di belakang, karena kesemuanya itu merupakan ketenteuan dan keadaan pada yang baharu. Sedangkan Allah tidak baharu. Jika umpamanya Allah demikian gambarannya, sungguh Dia baharu dan bukan Tuhan yang disembah dengan sebenarnya. Tetapi apabila tidak ada sifat-sifat baharu, maka itulah yang dikatakan Tuhan yang benar. Umpamanya barang yang ganjil bukan genab, dan juga sebaliknya, yakni yang genab bukan ganjil. Begitulah juga yang baharu bukan Tuhan yang benar dan Tuhan yang benar bukan baharu[3].

Kalau pun ada orang yang mengatakan bahwa Tuhan bertempat di Syurga ataupun di Arasy, Jawabannya mudah saja, Syurga dan Arasy, Allah yang ciptakan, sebelum di ciptakan dimana Ia duduk, bingunglah orang itu dan tidak bisa memberi jawaban yang tepat mengenai pertanyaan tersebut[4].  

Aliran yang mengatakan Allah duduk bersela di atas arsy dan bertempat di atas langit adalah kaum musyabihah (kaum yang menyerupakan Tuhan denga makhluk), sebagamana yang telah diuraikan panjang lebar oleh KH. Sirajuddi Abbas dalam bukunya Iktiqat Ahlussunnah Wal Jamaah, halaman 256, berikut ini petikannya.
 
Dalil yang dikemukakannya
الرحمن على العرش استوى
Ar Rahman (Allah) duduk bersela di atas arsy (Thaha, 5)

Mereka mengartikan istawa dengan duduk bersela serupa selanya manusia. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah mengartikan istawa di sini dengan mengusai atau memerintah. Jadi arti ayat ini menurut Ahlussunnah wal jamaah begini:
“Tuhan yang rahman mengusai ‚arasy“

Kaum tersebut mengatakan Tuhan di atas langit berdasar dua dalil yang dikemukakan yaitu:
بل رفعه الله اليه
Tetapi Tuhan mengangkat (Nabi Isa) kepadaNya, (An Nisa, 158)

Dalam ayat ini menurut mereka, dinyatakan bahwa Nabi Isa diangkat oleh Tuhan kepadaNya, yang berarti bahwa Tuhan itu di atas karena ada perkataan rafa’a yang berarti mengangkat ke atas.

Dan lagi firmanNya
أأمنتم من فى السماء ان يخسف بكم الارض فإذا هى تمور
Adakah Kmu merasa aman dengan yang ada di langit, bahwa kamu akan ditenggelamkan ke dala bumi ketika Ia bergoncang dengan kerasnya (Al Mulk, 16)

Dalam ayat ini menurut kaum Musyabihin, dinyatakan bahwa Tuhan itu di langit, di atas karena langit itu di atas.

Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah, mengartikan ayat ini dengan tempat yang mulia, jadi Nabi Isa diangkat ketempat yang mulia dan ia berada di tempat yang mulia. Pada ayat ini memang disebutkan di atas atau di langit, tetapi yang dimaksudkan adalah tempat yang mulia karena perkataan di atas atau di langit biasa juga dipakai oleh Arab pada arti tempat yang mulia.

Dan Allah yang suci itu maha bersih dari pada lawan, yang menyerupai, sekutu, yang melahirkan, anak dan teman tidak melahirkan, dan tidak berhajad kepada Tuhan lain yang menciptakannya karena Ia  wajib Qidam, sudah ada dengan sendirinya yang tidak diciptan oleh Tuhan lain. Dan inilah makna Qiyamuhu Bi Nafsih yang disimpulkan dengan, Tuhan  itu bukan sifat tetapi zat dan tidak berhajat kepada pencipta. Dan Ia kaya dari itu semua, sebenarnya inilah hakikat kaya yang disebut began kaya mutlak, tidak sepeti kaya yang tedapat pada makhluk yang tidak terlepas dari campur tangan sang maha pencipta, karena betapun kayanya makhluk tetap membutuhkan kepadanya.

Manusia mempunyanyia rumah besar, mobil mewah dan lain sebagainya, itu semuanya pemberian Allah, kapan saja bisa hilang dan lenyab bila Allah menghendakinya. Dan dari karena itu kita tidak boleh sombong dan takabbur dengan sebab mempunyanyi harta yang titip hanya buat sementara, kita harus menyadari bahwa apa saja yang ada bersama kita semuanya milik Allah bukan milik kita dan kita selalu membutuhkannya (Allahush shmad)

Imam Sanusi membagikan keadaan apa saja yang wujud (majudat) kepada 4 (empat) macam:
1)      Tidak berhajat kepada tempat dan pencipta yaitu Allah
2)      Berhajat kepada tempat dan pencipta yaitu sifat yang terdapat pada makhluk
3)      Berhajat kepada pencipta dan tidak berhajat kepada tempat yaitu zat makhluk
4)      Berhajat kepada tempat dan tidak berhajat kepada pencipta yaitu sifat-sifat qadimah yang terdapat pada zat Allah yang tinggi[5].



[1] . Imam sanusiy, Ummul Barahin, Hal, 85
[2] . Syeh Ibrahim Bajury, Tahqiqul maqam ‘ala Kifayatil ‘Awam, Hal, 38
[3] . Tengku Muhibbuddin Waly, Ayah kami, hal, 145
[4] . Abu Kemala, Risalah Ma’rifat, jilid II, hal, 2
[5] . Syeh Ibrahim Bajury, Tahqiqul maqam ‘ala Kifayatil ‘Awam, Hal, 38